Selasa, 17 Februari 2009

Anak Nangis

Hari ini, tepatnya tanggal 11 Februari, saya mendapatkan sebuah pengalaman yang menarik dari seorang adik ^^. Tepat saat saya masuk ke dalam lingkaran yang dibuat oleh anak-anak kelas arba’ah, saya mulai membagikan tugas menulis sampai baris ke empat dari yang dibaca. Kegiatan yang biasa ini menjadi menyenangkan saat adik-adik bisa menghafal Asma’ul Husna dengan lengkap, disertai gerakan.

Namun, saat saya mulai menyimak satu persatu anak yang membaca, tiba-tiba ada seorang adik yang bilang,

“Teteh, tadi si A bilang ‘anjing’ waktu di sekolah, padahal itu kan ga baik,”

Saya pun berhenti menyimak, kaena tiba-tiba anak yang ditunjuk mulai menangis tersedu-sedu. Spontan saya langsung mendekap anak itu, tersengal-sengal anak itu berbicara pada saya.

“tadi si B ngejek saya, saya ga tahan, teh. Saya ga sengaja bilang kata itu. Saya ga salah,,,hu..hu..”

Saya kaget!

“iya, teteh ngerti. Tapi, lebih baik kalau adik tak membalas ejekan itu. Adik lebih baik mendoakan temen adik yang nakal itu supaya Allah membuka hatinya biar ga nakal lagi.. kan adik pingin disayang Allah, ya k an?” jawab saya sambil tersenyum.

Namun, saya gagal mengambil hatinya, dia berhenti menangis, tapi langsung merengek minta ketemu kakaknya. Akhirnya, saya menyuruh sang kakak untuk mengantar pulang, karena saya tak tega. Saya pikir, sang Bunda pastilah lebih mengeri dari pada saya yang masih payah untuk hal semacam ini.

Emh, saya merasa takjub. Seorang gadis kecil, yang mengatakan kata kotor dengan tak disengaja saja merasa malu dan takut seperti itu. Namun, saya tak jarang memdengar seorang yang lebih besar, bahkan telah dewasa, mengucapkan kata kotor itu dengan santainya. Dia sama sekali tak merasa bersalah, dan ‘think that everything is gonna be okay with that jerk’.

Ternyata, yang ‘gede’ malah kalah ya sama anak kecil. -_-a.

Minggu, 28 Desember 2008

some glances through my mind [part 2]

Theme : Ada yang Harus Kita Lakukan

To : My Youth Friends!!

Subject : Sebagai Guru...

Guru ada yang mengatakan adalah akronim dari dua kata dalam bahasa jawa. Yaitu digugu dan ditiru. Dari segi etimologinya, dua kata ini mempunyai makna yang sama. Digugu dan ditiru berarti seorang guru seyogyanyalah menjadi sebuah contoh yang baik, menjadi seorang publik figur yang mempunyai nilai positif, khususnya di mata anak didiknya. Jika dilihat dari perspektif guru yang sebagai pemberi nasehat dan petunjuk, maka bisa dikatakan juga bahwa guru juga seyogyanya konskewen dengan apa yang diucapkannya. Dengan kata lain, ada tanggung jawab moral yang dibebankan kepada guru untuk melakukan semua itu. Selain, bahwa guru sebagai seorang pengajar juga sebagai fasilitator ilmu yang harus menguasai subjek pelajaran yang diajarkannya.

Apa yang saya utarakan di atas adalah sebuah gambaran ideal seorang guru setidaknya dari perspketif penulis sendiri. Dan mungkin juga yang diharapkan oleh yang lainnya. Namun, seharusnyalah sisi kemanusiaan guru juga harus diperhitungkan. Dalam artian, guru yang di satu sisi ”dituntut” untuk menjadi seperti yang di atas. Sedangkan di sisi lain, dengan meminjam lirik lagunya grup band ”Seurius”, ”guru juga manusia” dan dengan adanya sisi kemanusiaannya tersebut, maka juga harus diperhitungkan ketidakmampuan guru untuk memenuhi semua persyaratan menjadi ”a perfect guru”.

Dalam realitasnya, guru – dengan semua keadaan dan keberadaannya – adalah sebuah sample dari yang baik di mata masyarakatnya. Dilihat dari perspektif diri guru sendiri keadaan tersebut akan memunculkan sebuah pertanyaan, apakah adil jika guru dituntut seperti itu padahal guru sebagai seorang manusia tentunya punya kelemahan-kelemahan yang terkadang menimbulkan justifikasi masyarakat yang tidak adil terhadap kelemahan-kelemahan itu? Maka, menurut penulis, yang kemudian berlaku untuk mengatasi permasalahan itu adalah metode standar minimum dan mutual understanding. Dua metode ini memiliki objek pemberlakuan yang sama. Keduanya menjadikan guru sebagai pihak pertama dan masyarakat sebagai pihak kedua dengan anak didik sebagai objek. Yang pertama adalah bagaimana caranya seorang guru melakukan sebuah tindakan yang harus dilakukan oleh seseorang yang bis disebut guru. Jadi, harus ada standarisasi dari tingkat keminimuman dalam masalah ini. Standarisasi dari minimum di sini adalah tindakan paling dasar yang harus dilakukan oleh seorang guru (jika ia memang benar-benar seorag guru) adalah kemampuan guru untuk memberdayakan anak didiknya. Memberdayakan di sini berarti adalah komitmen seorang guru yang murni untuk pendidikan anak didik. Dalam artian, tujuan awal dari kenapa ia mempunyai murid bukan karena popularitas, ingin disanjung atau bahkan – na’udzubillahi min dzalik – agar ia bisa memanfaatkan anak didiknya untuk mendapatkan kekayaan materi. Jika komitmen awal seorang guru ternyata supaya ia bisa memanfaatkan anak didiknya, maka yang kemudian menguasai otak si guru tersebut adalah orientasi ”bagaimana caranya dengan keberadaan anak didiknya tersebut aku bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya”. Dan dari orientasi tersebut akibat yang akan timbul adalah segala keputusan yang kontra dengan kemajuan si anak didik.

Sebuah pertanyaan kemudian masuk ”apakah ada seorang guru yang berbuat seperti itu, sepertinya hal itu hanyalah praduga yang tak beralasan?” pertanyaan ini tentunya tidak akan dijawab oleh penulis sendiri karena menurut penulis yang pernah dan sedang merasakan keadaan seperti itulah yang lebih berhak untuk menjawabnya.

Yang kedua, metode saling memahami. Objek pemberlakukan metode ini lebih ditujukan kepada anak didik dan masyarakat guru tersebut. Kata saling bermakna mewajibkan adanya dua pihak atau lebih untuk sama-sama mengerjakan kewajibannya masing-masing agar tercapainya tujuan bersama. Hubungan metode ini dengan yang pertama tadi terjadi dalam sebuah titik temu yaitu ketika dalam usahanya untuk mendapatkan standar minimum tersebut si guru harusnya tahu standar minimum yang diinginkan oleh anak didik serta masyarakatnya. Sedangkan pihak yang kedua pun tentunya harus paham dengan keberadaan guru sebagai manusia (sehingga tidak menetapkan baiknya guru dengan standarisasi yang terlalu besar). Maka di sini ada sebuah kesepakatan yang undiscussed dan unwritten antar keduanya namun seharusnya dipahami oleh keduanya. Dengan kata lain, jika kemudian sang guru sebagai pihak yang aktif kemudian melakukan sesuatu di bawah ”kesepakatan standarisasi” tersebut maka konskwensinya adalah tiadanya pengakuan dari anak didik maupun masyarakat terhadap predikat guru pada orang itu. Hal ini kemudian akan berimbas pada ketiadaan rasa hormat terhadap orang itu, yang kalaupun ada hanya didasari karena unsur menjilat atau unsur kemunafikan.

Setelah terjadi proses tersebut (yang kemudian salah satu akibatnya adalah tiadanya rasa hormat kepada si ”guru” itu) maka dengan sendirinya hegemoni dari si guru tersebut akan goyah, dan satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk memantapkan kembali hegemoni tersebut adalah dengan tindakan represif.

What ought to do? Pertanyaan ini hanya akan keluar dari siapa saja yang merasa bahwa ini tidak baik dan ini harus dirubah. Jawaban pertanyaan itu mungkin bisa saya ambilkan dari kisah nyata ini. ”sekelompok anak muda dengan semangat membara merangkak diam-diam mendekati sekumpulan tentara bersenjata lengkap. Setelah dirasa cukup dekat, dengan tiba-tiba mereka kemudian menyerang tentara-tentara tersebut dengan lemparan batu. Beberapa tentara terkejut lemparan batu itu namun segera kemudian mereka memberondongkan senjata otomatis mereka ke segerombolan anak muda tersebut. Anak-anak muda itu mati. Dan tentara-tentara itu tak ada yang terluka sedikitpun karena yang menyerang mereka hanyalah lemparan batu. Anda tahu tentunya tahu bahwa kisah nayat ini adalah sepotong kisah intifadah yang dilakukan oleh pejuang palestina melawan anjing-anjing israel. Terlepas dari alasan agama dengan jihad fisabilillahnya ada dua poin pokok yang menurut saya itulah dasar kenapa mereka melakukan tindakan ”konyol” itu. Pertama, karena keyakinan bahwa tindakan itu adalah sebuah kebenaran. Sedangkan yang kedua adalah karena mereka adalah pemuda. Maka, karena mereka pemuda dan mereka berpikir ini adalah sebuah kebenaran, maka mereka berani untuk bergerak. Pemuda tersebut saat itu memang kalah, semuanya mereka mati dan tak ada hasil sedikitpun yang didapatkan. Namun, mereka telah menancapkan paku permasalahan dalam diri tentara israel bahwa palestina tidak mau pertekuk lutut dengan kedzaliman dan palestina akan terus melawan kedaliman tersebut dengan sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan.

Jadi, apa yang sedang kalian pikirkan, wahai Pemuda Mahasiswa?

some glances through my mind

MENYEIMBANGKAN SEJARAH DAN MASA DEPAN

Kata teman, setiap bulan mempunyai kekhasannya sendiri, begitu juga bulan Desember - tentunya juga mempunyai kekhasan itu. Seperti yang kita rasakan saat ini, sebagian besar orang saat ini sedang mempersiapkan diri untuk menyambut tahun baru 2009. Hampir di setiap pinggir-pinggir jalan raya terlihat pedagang kaki lima yang menjajakan atribut-atribut ritual penyambutan itu. Namun, sebagian yang lain, (dan ini lebih terlihat akademis) di penghujung akhir tahun ini melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk interopeksi; sudah seberapa lama kita melayari samudra kehidupan ini, dan sudah seberapa banyak yang kita hasilkan dari waktu-waktu yang telah kita lalui? Kedua pertanyaan itu di akhir tahun (dan mungkin memang hanya di akhir tahun) tiba-tiba menyeruak memenuhi alam pikiran kita. Dan inilah yang bisa disebut sebagai salah satu kekhasan bulan Desember.

Dua bentuk pengekspresian di atas, jika direnungkan merupakan dua bentuk perspeketif berbeda dari cara manusia memandang waktu, yaitu menengok sejarah dan memandang masa depan. Tentu saja, terkadang dari kedua sudut pandang ini timbul kesimpulan yang berbeda dalam menafsiri hidup. Saya tidak akan memperbandingkan dan menjustifikasi mana di antara kedua hal itu yang benar dan mana yang salah. Keduanya, adalah hak penuh setiap insan untuk memandang bagaimanakah bentuk kehidupan bagi dirinya. Setiap dari keduanya mempunyai sisi gelap-terang yang harus diungkapkan.

Sejarah adalah memori dari apa yang telah kita lakukan. Ia adalah yang lalu, telah lewat dan tak akan kembali. Membangkitkannya, terkadang mampu membawa kita ke haru biru yang meletup-letup. Ia jelas karena ia telah terjadi. Namun, setiap orang sadar, haru biru, kesenangan, kesedihan, kesemuanya hanyalah perasaan dari peristiwa yang telah kita alami dahulu, kita hanya merasakan perasaannya saja, bukan peristiwanya. Dan yang harus diakui adalah, lambat laun, perasaan apapun itu, akan sirna ditelan oleh waktu. Seringkali, sejarah menjadi sosok menakutkan yang menghantui sebuah komunitas. Yang pada akhirnya mereka hanya tertunduk malu dan berharap “kapan semua berjalan normal kembali?”

Berbeda dengan masa depan. Ia adalah yang akan datang, dan karena kita tidak mempunyai bakat cenayang, maka ia menjadi sesuatu yang tak jelas. Ketakjelasan terkadang membuat kita takut untuk membuatnya. Kepragmatisan membuat diri kita menginginkan jalan yang jelas untuk sesuatu yang jelas. Dan ketiadaan hal itu membuat kita terkadang menyalahkan masa lalu. Ah, kenapa dulu kita dijajah! Ah, kenapa dulu waktu pemilu aku tidak memilih capres si A! Dan waktu terus berjalan.

Desember inipun, besok juga hanya akan menjadi sejarah; bahwa dulu pernah ada tulisan yang sedikit menyinggung tentang sejarah dan masa depan dalam sebuah surat kabar. Bukannya tak ada hubungan antara sejarah dengan masa depan. Malah, keduanya bagai pasangan yang seharusnya tak terpisahkan. Keduanya, menurut saya adalah ayah dan ibu yang selalu memberikan nasehat dan semangat kepada anaknya. Lalu, siapakah anaknya? Ia adalah kita yang sekarang. Kita yang saat ini hidup dan mengarungi kehidupan. Beberapa hal yang menyakitkan mungkin telah kita alami, itulah yang kemudian kita sebut sebagai pengalaman. Ketakjelasan yang akan menimpa kita besok saat matahari menengok cakrawala dunia, dari itulah kita membuat persiapan. Dan saat ini, kita harus hidup dengan keduanya.