Minggu, 28 Desember 2008

some glances through my mind [part 2]

Theme : Ada yang Harus Kita Lakukan

To : My Youth Friends!!

Subject : Sebagai Guru...

Guru ada yang mengatakan adalah akronim dari dua kata dalam bahasa jawa. Yaitu digugu dan ditiru. Dari segi etimologinya, dua kata ini mempunyai makna yang sama. Digugu dan ditiru berarti seorang guru seyogyanyalah menjadi sebuah contoh yang baik, menjadi seorang publik figur yang mempunyai nilai positif, khususnya di mata anak didiknya. Jika dilihat dari perspektif guru yang sebagai pemberi nasehat dan petunjuk, maka bisa dikatakan juga bahwa guru juga seyogyanya konskewen dengan apa yang diucapkannya. Dengan kata lain, ada tanggung jawab moral yang dibebankan kepada guru untuk melakukan semua itu. Selain, bahwa guru sebagai seorang pengajar juga sebagai fasilitator ilmu yang harus menguasai subjek pelajaran yang diajarkannya.

Apa yang saya utarakan di atas adalah sebuah gambaran ideal seorang guru setidaknya dari perspketif penulis sendiri. Dan mungkin juga yang diharapkan oleh yang lainnya. Namun, seharusnyalah sisi kemanusiaan guru juga harus diperhitungkan. Dalam artian, guru yang di satu sisi ”dituntut” untuk menjadi seperti yang di atas. Sedangkan di sisi lain, dengan meminjam lirik lagunya grup band ”Seurius”, ”guru juga manusia” dan dengan adanya sisi kemanusiaannya tersebut, maka juga harus diperhitungkan ketidakmampuan guru untuk memenuhi semua persyaratan menjadi ”a perfect guru”.

Dalam realitasnya, guru – dengan semua keadaan dan keberadaannya – adalah sebuah sample dari yang baik di mata masyarakatnya. Dilihat dari perspektif diri guru sendiri keadaan tersebut akan memunculkan sebuah pertanyaan, apakah adil jika guru dituntut seperti itu padahal guru sebagai seorang manusia tentunya punya kelemahan-kelemahan yang terkadang menimbulkan justifikasi masyarakat yang tidak adil terhadap kelemahan-kelemahan itu? Maka, menurut penulis, yang kemudian berlaku untuk mengatasi permasalahan itu adalah metode standar minimum dan mutual understanding. Dua metode ini memiliki objek pemberlakuan yang sama. Keduanya menjadikan guru sebagai pihak pertama dan masyarakat sebagai pihak kedua dengan anak didik sebagai objek. Yang pertama adalah bagaimana caranya seorang guru melakukan sebuah tindakan yang harus dilakukan oleh seseorang yang bis disebut guru. Jadi, harus ada standarisasi dari tingkat keminimuman dalam masalah ini. Standarisasi dari minimum di sini adalah tindakan paling dasar yang harus dilakukan oleh seorang guru (jika ia memang benar-benar seorag guru) adalah kemampuan guru untuk memberdayakan anak didiknya. Memberdayakan di sini berarti adalah komitmen seorang guru yang murni untuk pendidikan anak didik. Dalam artian, tujuan awal dari kenapa ia mempunyai murid bukan karena popularitas, ingin disanjung atau bahkan – na’udzubillahi min dzalik – agar ia bisa memanfaatkan anak didiknya untuk mendapatkan kekayaan materi. Jika komitmen awal seorang guru ternyata supaya ia bisa memanfaatkan anak didiknya, maka yang kemudian menguasai otak si guru tersebut adalah orientasi ”bagaimana caranya dengan keberadaan anak didiknya tersebut aku bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya”. Dan dari orientasi tersebut akibat yang akan timbul adalah segala keputusan yang kontra dengan kemajuan si anak didik.

Sebuah pertanyaan kemudian masuk ”apakah ada seorang guru yang berbuat seperti itu, sepertinya hal itu hanyalah praduga yang tak beralasan?” pertanyaan ini tentunya tidak akan dijawab oleh penulis sendiri karena menurut penulis yang pernah dan sedang merasakan keadaan seperti itulah yang lebih berhak untuk menjawabnya.

Yang kedua, metode saling memahami. Objek pemberlakukan metode ini lebih ditujukan kepada anak didik dan masyarakat guru tersebut. Kata saling bermakna mewajibkan adanya dua pihak atau lebih untuk sama-sama mengerjakan kewajibannya masing-masing agar tercapainya tujuan bersama. Hubungan metode ini dengan yang pertama tadi terjadi dalam sebuah titik temu yaitu ketika dalam usahanya untuk mendapatkan standar minimum tersebut si guru harusnya tahu standar minimum yang diinginkan oleh anak didik serta masyarakatnya. Sedangkan pihak yang kedua pun tentunya harus paham dengan keberadaan guru sebagai manusia (sehingga tidak menetapkan baiknya guru dengan standarisasi yang terlalu besar). Maka di sini ada sebuah kesepakatan yang undiscussed dan unwritten antar keduanya namun seharusnya dipahami oleh keduanya. Dengan kata lain, jika kemudian sang guru sebagai pihak yang aktif kemudian melakukan sesuatu di bawah ”kesepakatan standarisasi” tersebut maka konskwensinya adalah tiadanya pengakuan dari anak didik maupun masyarakat terhadap predikat guru pada orang itu. Hal ini kemudian akan berimbas pada ketiadaan rasa hormat terhadap orang itu, yang kalaupun ada hanya didasari karena unsur menjilat atau unsur kemunafikan.

Setelah terjadi proses tersebut (yang kemudian salah satu akibatnya adalah tiadanya rasa hormat kepada si ”guru” itu) maka dengan sendirinya hegemoni dari si guru tersebut akan goyah, dan satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk memantapkan kembali hegemoni tersebut adalah dengan tindakan represif.

What ought to do? Pertanyaan ini hanya akan keluar dari siapa saja yang merasa bahwa ini tidak baik dan ini harus dirubah. Jawaban pertanyaan itu mungkin bisa saya ambilkan dari kisah nyata ini. ”sekelompok anak muda dengan semangat membara merangkak diam-diam mendekati sekumpulan tentara bersenjata lengkap. Setelah dirasa cukup dekat, dengan tiba-tiba mereka kemudian menyerang tentara-tentara tersebut dengan lemparan batu. Beberapa tentara terkejut lemparan batu itu namun segera kemudian mereka memberondongkan senjata otomatis mereka ke segerombolan anak muda tersebut. Anak-anak muda itu mati. Dan tentara-tentara itu tak ada yang terluka sedikitpun karena yang menyerang mereka hanyalah lemparan batu. Anda tahu tentunya tahu bahwa kisah nayat ini adalah sepotong kisah intifadah yang dilakukan oleh pejuang palestina melawan anjing-anjing israel. Terlepas dari alasan agama dengan jihad fisabilillahnya ada dua poin pokok yang menurut saya itulah dasar kenapa mereka melakukan tindakan ”konyol” itu. Pertama, karena keyakinan bahwa tindakan itu adalah sebuah kebenaran. Sedangkan yang kedua adalah karena mereka adalah pemuda. Maka, karena mereka pemuda dan mereka berpikir ini adalah sebuah kebenaran, maka mereka berani untuk bergerak. Pemuda tersebut saat itu memang kalah, semuanya mereka mati dan tak ada hasil sedikitpun yang didapatkan. Namun, mereka telah menancapkan paku permasalahan dalam diri tentara israel bahwa palestina tidak mau pertekuk lutut dengan kedzaliman dan palestina akan terus melawan kedaliman tersebut dengan sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan.

Jadi, apa yang sedang kalian pikirkan, wahai Pemuda Mahasiswa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar